Proses Pemurnian Timbel/ Timah Hitam
(Pb)
Salah
satu penyebab kehadiran timbal adalah pencemaran udara. Yaitu akibat kegiatan
transportasi darat yang menghasilkan bahan pencemar seperti gas CO3, NOx,
hidrokarbon, SO2, dan tetraethyl lead, yang merupakan bahan logam timah hitam
(timbal) yang ditambahkan ke dalam bahan bakar berkualitas rendah untuk
menurunkan nilai oktan.
Bijih-bijih timbel harus dipanggang
terlebih dahulu untuk menghilangkan sulfida-sulfida, sedang timbel dengan
campurannya yang lain berubah menjadi oksida timah hitam (PbO) dan sebagian
lagi menjadi timbel sulfat (PbSO4). Dengan menambah kwarsa (SiO2) pada sulfat
di atas suhu yang tinggi akan mengubah timbel sulfat menjadi silikat. Campuran
silikat timbel dengan oksida timbel yang dipijarkan pakai kokas kemudian
dicampur dengan batu kapur, akan menghasilkan timbel.
PT
Timah (Persero) Tbk atau disingkat PT TIMAH
adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang pertambangan atau eksplorasi
timah. Perusahaan ini adalah penghasil timah dunia terbesar pada
tahun 2008.
Kepulauan Bangka Belitung
|
Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terdiri dari dua pulau utama
yaitu Pulau Bangka dan Pulau Belitung serta pulau-pulau kecil seperti P. Lepar,
P. Pongok, P. Mendanau dan P. Selat Nasik, total pulau yang telah bernama
berjumlah 470 buah dan yang berpenghuni hanya 50 pulau. Bangka Belitung
terletak di bagian timur Pulau Sumatera, dekat dengan Provinsi Sumatera Selatan.
Bangka Belitung dikenal sebagai daerah penghasil timah, memiliki pantai yang
indah dan kerukunan antar etnis. Ibu kota provinsi ini ialah Pangkalpinang.
Pemerintahan provinsi ini disahkan pada tanggal 9 Februari 2001. Setelah
dilantiknya Pj. Gubernur yakni H. Amur Muchasim, SH (mantan Sekjen Depdagri)
yang menandai dimulainya aktivitas roda pemerintahan provinsi.
Selat
Bangka memisahkan Pulau Sumatera dan Pulau Bangka, sedangkan Selat Gaspar
memisahkan Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Di bagian utara provinsi ini
terdapat Laut Cina Selatan, bagian selatan adalah Laut Jawa dan Pulau Kalimantan
di bagian timur yang dipisahkan dari Pulau Belitung oleh Selat Karimata.
Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung sebelumnya adalah bagian dari Sumatera Selatan, namun
menjadi provinsi sendiri bersama Banten dan Gorontalo pada tahun 2000. Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung didirikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun
2000 Tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tanggal 21 November
2000 yang terdiri dari Kabupaten Bangka, Kabupaten Belitung dan Kota
Pangkalpinang. Pada tahun 2003 berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003
tanggal 23 Januari 2003 dilakukan pemekaran wilayah dengan penambahan 4
kabupaten yaitu Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan dan Belitung Timur.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan pemekaran wilayah dari Provinsi Sumatera
Selatan.
Negara Penghasil Timah Terbesar
1. Indonesia : 300.000 ton
2. Malaysia : 200.000 ton
3. Bolivia : 200.000 ton
4. Thailand : 200.000 ton
5. Zambia : 197.023 ton
6. Meksiko : 180.500 ton
7. Zimbabwe : 150.000 ton
8. RRC : 120.000 ton
9. Laos : 98.430 ton
10. Zaire/Kongo : 98.000 ton
Logam timah
Timah
merupakan logam dasar terkecil yang diproduksi yaitu kurang dari 300.000 ton per tahun, dibandingkan dengan produksi aluminium sebesar 20 juta ton per tahun.
Timah
digunakan dengan berbagai cara di pabrik timah, solder dan pabrik kimia; mulai
dari baju anti api, sampai dengan pembuatan stabiliser pvc, pestisida
dan pengawet kayu. Di pabrik timah digunakan untuk kemasan bersaing dengan
aluminium, namun pasar kemasan cukup besar bagi keduanya dengan masing-masing
keunggulannya. Kaleng lapis timah lebih kuat dari kaleng aluminium, sehingga
menjadi keunggulan bagi produk makanan
kaleng.
Peningkatan
terbesar dalam permintaan timah baru-baru ini adalah karena tekanan lingkungan
yang meminta pabrik solder memangkas kandungan lead pada solder, sehingga
membuat kandungan timah dalam solder meingkat dari 30% menjadi hampir 97% hal
ini merupakan peningkatan konsumsi yang besar.
Eksplorasi
Mulai
tahun 1996, perusahaan menggunakan peralatan berteknologi modern yaitu Global Positioning System (GPS) untuk melengkapi fasilitas kegiatan dan aktivitas
eksplorasi. Hal ini sangat membantu meningkatkan efisiensi dan keakuratan dari
pemetaan dan pengukuran. Data dari tes laboratorium dan GPS disimpan di dalam komputer untuk memproduksi dan menghasilkan peta geologis yang
sangat tinggi keakuratannya bagi pertambangan yang sistematis dan efisien.
Penambangan
Lepas Pantai
Perusahaan
mengoperasikan armada kapal
keruk untuk operasi produksi di daerah
lepas pantai (off shore). Armada kapal keruk mempunyai kapasitas mangkok
(bucket) mulai dari ukuran 7 cuft sampai dengan 24 cuft. Kapal keruk dapat
beroperasi mulai dari kedalaman 15 meter sampai 50 meter di bawah permukaan
laut dan mampu menggali lebih dari 3,5 juta meter kubik material setiap bulan.
Setiap kapal keruk dioperasikan oleh karyawan yang berjumlah lebih dari 100
karyawan yang waktu bekerjanya terbagi atas 3 kelompok dalam 24 jam sepanjang
tahun.
Hasil
produksi bijih timah dari kapal keruk diproses di instalasi pencucian untuk
mendapatkan kadar minimal 30% Sn dan diangkut dengan kapal tongkang untuk
dibawa ke Pusat Pengolahan Bijih Timah (PPBT) untuk dipisahkan dari mineral
ikutan lainnya selain bijih timah dan ditingkatkan kadarnya hingga mencapai
persyaratan peleburan yaitu minimal 70-72% Sn.
Penambangan Darat
Produksi
penambangan darat yang berada di wilayah Kuasa Pertambangan (KP) perusahaan
dilaksanakan oleh kontraktor swasta yang merupakan mitra usaha dibawah kendali
perusahaan. Hampir 80% dari total produksi perusahaan berasal dari penambangan
di darat mulai dari Tambang Skala Kecil berkapasitas 20 m3/jam sampai dengan
Tambang Besar berkapasitas 100 m3/jam.
Proses
penambangan timah alluvial menggunakan pompa semprot (gravel pump).Setiap
kontraktor atau mitra usaha melakukan kegiatan penambangan berdasarkan
perencanaan yang diberikan oleh perusahaan dengan memberikan peta cadangan yang
telah dilakukan pemboran untuk mengetahui kekayaan dari cadangan tersebut dan
mengarahkan agar sesuai dengan pedoman atau prosedur pengelolaan lingkungan
hidup dan keselamatan kerja di lapangan. Hasil produksi dari mitra usaha dibeli
oleh perusahaan sesuai harga yang telah disepakati dalam Surat Perjanjian Kerja
Sama.
Pengolahan
Untuk
meningkatkan kadar bijih timah atau konsentrat yang berkadar rendah, bijih
timah tersebut diproses di Pusat Pencucian Bijih Timah (Washing Plant). Melalui
proses tersebut bijih timah dapat ditingkatkan kadar (grade) Sn-nya dari 20 -
30% Sn menjadi 72% Sn untuk memenuhi persyaratan peleburan. Proses peningkatan
kadar bijih timah yang berasal dari penambangan di laut maupun di darat
diperlukan untuk mendapatkan produk akhir berupa logam timah berkualitas dengan
kadar Sn yang tinggi dengan kandungan pengotor (impurities) yang rendah.
Peleburan
Perusahaan
mengoperasikan 8 tanur dan 2 single stage furnace (SSF), 7 tanur berada di
daerah Mentok, Bangka dan 1 tanur berada di daerah Kundur. Proses peleburan
merupakan proses melebur bijih timah menjadi logam Timah. Untuk mendapatkan
logam timah dengan kualitas yang lebih tinggi, maka harus dilakukan proses
pemurnian terlebih dahulu dengan menggunakan suatu alat pemurnian yang disebut
crystallizer.
Produk
yang dihasilkan berupa logam timah dalam bentuk balok atau batangan dengan
skala berat antara 16 kg sampai dengan 26 kg per batang. Produk yang dihasilkan
juga dapat dibentuk sesuai permintaan pelanggan (customize) dan mempunyai merek
dagang yang terdaftar di London Metal Exchange (LME).
Distribusi dan Pemasaran
Kegiatan
pemasaran mencakup kegiatan penjualan dan pendistribusian logam timah.
Pendistribusian logam timah hampir 95% dilaksanakan untuk memenuhi pasar di
luar negeri atau ekspor dan sebesar 5% untuk memenuhi pasar domestik. Negara
tujuan ekspor logam Timah antara lain adalah wilayah Asia
Pasifik yang meliputi Jepang, Korea,
Taiwan, Cina
dan Singapura, wilayah Eropa meliputi Inggris, Belanda,
Perancis, Spanyol
dan Italia serta Amerika dan Kanada.
Menyelamatkan Kehancuran Pertambangan Timah Bangka Belitung
Berikut ini merupakan laporan khusus yang ditulis
oleh Ketua KPK-N (Komite Penyelamat Kekayaan Negara), Marwan Batubara *).
Laporan khusus ini tersaji dalam sebuah buku beliau yang berjudul ‘Menggugat
Pengelolaan Sumber Daya Alam, Menuju Negara Berdaulat’.
Insya Allah, Eramuslim akan memuat tulisan ini
dalam rubrik laporan khusus yang disajikan secara berseri.
Pemerintah Belum Optimal Kelola
Pertambangan Timah
Mekanisme pertambangan timah di Indonesia bisa
dikatakan masih jauh dari prinsip demokrasi ekonomi. Sebab, endapan timah yang
merupakan kekayaan nasional bangsa Indonesia belum sepenuhnya dimanfaatkan
sesuai amanat UUD 1945 pasal 33. Kekayaan itu harus digunakan sepenuhnya untuk
kemakmuran rakyat. Jadi, negara harus mampu menguasai secara efektif dan
memanfaatkan sumber daya itu demi kemakmuran rakyatnya.
Sudah menjadi kewajiban semua pihak, baik
pemerintah maupun rakyat memanfaatkan potensi tambang bagi kemakmuran rakyat.
Namun, hal itu belum mewujud dalam pengelolaan pertambangan timah yang ada di
sepanjang Pulau Bangka, Belitung, Singkep, dan Karimun-Kundur. Padahal,
Indonesia diakui sebagai penghasil timah terbesar kedua di dunia setelah Cina.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia bisa disebut sebagai negara yang masih
memiliki kandungan timah berlimpah.
Sayang, potensi timah yang bisa membawa Indonesia
menuai pendapatan berlimpah untuk kemakmuran rakyatnya belum diatur secara
optimal. Masih sering terjadi penyelundupan timah melalui penambangan ilegal.
Bayangkan saja, penambangan ilegal mampu menghasilkan 60 ribu ton per tahun,
tak begitu beda jauh dengan jumlah produksi penambangan legal sebesar 71.610
per tahun. Hasil penambangan ilegal tentu tak masuk ke dalam kas negara,
terutama dalam bentuk royalti dan pajak.
Biasanya, timah dari aktivitas penambangan ilegal
itu dipasarkan ke sejumlah negara, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan
Cina. Menurut Batubara (2008), ada sejumlah masalah yang mestinya segara
mendapatkan solusi. Permasalahan tersebut antara lain adalah belum optimalnya
kebijakan nasional, peraturan yang bermasalah, penegakan hukum yang tidak
konsisten, KKN berbagai oknum, pencurian, penyeludupan, perusakan lingkungan,
dominasi asing dan pemilik modal, serta kemiskinan dan ketertinggalan
masyarakat.
Banyak dampak negatif yang timbul akibat
kesalahan dan penyelewengan pengelolaan tambang timah. Sekitar 40% produksi
timah nasional setiap tahun diseludupkan. Negara kehilangan pendapatan, hanya
dari royalty (besarnya 2% harga jual timah), sekitar US$ 9,5 juta per tahun.
Belum lagi kerugian akibat penggelapan pajak, yang jumlahnya pasti jauh lebih
besar! Sudah bertahun-tahun sejak larangan ekspor biji timah dikeluarkan pada
31 Januari 2002 yang lalu, smelter Singapura – negara yang tidak punya tambang
timah – terus memroduksi timah lebih dari 25.000 ton/tahun.
Smelter di Malaysia dan Thailand juga menadah
timah seludupan dari Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, hasil tambang timah
Malaysia dan Thailand hanya sekitar 3000-5000 ton/tahun. Namun, smelter mereka
bisa memproduksi batangan timah 25.000-35.000 ton/tahun. Hal ini terjadi tentu
karena adanya penyeludupan dari Babel! Berdasarkan rilis Commodity Research
Unit (CRU), sejak tahun 2000-2008 timah Indonesia yang masuk pasar
internasional tanpa dilaporkan secara resmi, ilegal/diseludupkan, mencapai
266.000 ton. Jika diasumsikan harga rata-rata timah US 14,000/ton dan kurs
US$/Rp = 12.000 maka kehilangan negara dari royalty yang besarnya hanya 2% dari
harga jual, sudah mencapai Rp 1 triliun. Apalagi jika kerugian negara dari
pajak (minimal 25% harga jual) diperhitungkan, kerugian negara bisa lebih dari
Rp 13 triliun! Kerugian ini belum memperhitungkan berbagai kehilangan
kesempatan dalam seluruh lingkup kegiatan bisnis industri timah akibat
penyeludupan.
Seluruh masalah ini saling terkait dan telah
berkontribusi terhadap tidak optimalnya hasil tambang timah bagi pendapatan
negara dan kesejahteraan rakyat. Pemerintah belum dapat menyeimbangkan
aspek-aspek pendapatan negara, reservasi atau pengamanan cadangan timah, dan
pemberdayaan ekonomi atau kehidupan rakyat. Penambangan dilakukan hanya
berdasarkan upaya untuk mengejar pertumbuhan dan peningkatan pendapatan.
Dengan total cadangan yang terbatas sekitar
900.000 ton, timah Indonesia diperkirakan hanya akan bertahan 12 tahun kedepan,
atau paling lama 15 tahun jika cadangan baru ditemukan. Undang-undang dan
peraturan seputar tambang timah sebagian tidak relevan dan tidak sejalan dengan
kepentingan nasional. Demikan pula dengan penegakan hukum di lapangan, yang
sering tidak konsisten dan bermasalah. Pemerintah terlihat belum optimal mengatur
mekanisme penambangan timah.
Hingga 2009, penyelundupan timah masih marak
terjadi. Pemerintah tidak tegas memberikan sanksi terhadap para pelaku
penyelundupan timah. Sejauh ini, pertambangan dilakukan untuk mengejar
pertumbuhan dan peningkatan pendapatan tanpa penghematan. Hal ini kemudian
memberikan peluang bisnis terhadap para investor asing dan domestik. Bahkan,
tercatat sejumlah cukong dari Jakarta menguasai tambang timah ilegal melalui
konsorsium yang beranggotakan banyak perusahaan.
Menurut Ketua Komisi VII DPR Airlangga Hartanto,
terdapat 6.507 usaha pengelolaan timah di Bangka dan Belitung. Tercatat 199
pertambangan dilengkapi izin, sedangkan 6.308 usaha lainnya ilegal. Merebaknya
penambangan dan pemasaran timah ilegal karena pimpinan daerah, seperti bupati
memiliki otoritas memberi izin usaha pertambangan. Lokasi pertambangan PT Timah
yang dianggap tidak ekonomis kemudian dialihkan ke kontraktor lokal, yaitu PT
Tambang Karya.
Hal ini menyebabkan kerusakan lahan dan hutan. Penambangan ilegal terjadi pada 30 persen luas hutan di provinsi Bangka Belitung. Hal ini mengakibatkan pencemaran air, lahan tandus, abrasi pantai, dan kerusakan cagar alam. Di sisi lain, kini PT Timah, sahamnya tak lagi sepenuhnya dimiliki pemerintah. Sebanyak 35 persen milik swasta dan 65 persen lainnya masih dikuasai pemerintah.
Hal ini menyebabkan kerusakan lahan dan hutan. Penambangan ilegal terjadi pada 30 persen luas hutan di provinsi Bangka Belitung. Hal ini mengakibatkan pencemaran air, lahan tandus, abrasi pantai, dan kerusakan cagar alam. Di sisi lain, kini PT Timah, sahamnya tak lagi sepenuhnya dimiliki pemerintah. Sebanyak 35 persen milik swasta dan 65 persen lainnya masih dikuasai pemerintah.
Pihak swasta memiliki kewenangan untuk
usaha-usaha pertambangan yang juga memiliki izin smelter, mempunyai kewenangan
untuk peleburan dan pemurnian, memiliki izin ekspor dan juga tentu mendapatkan
keuntungan. Keuntungan swasta, seratus persen tentu menjadi milik swasta
seluruhnya. Dan kepemilikan PT Timah seperti di atas membuat seolah-olah sudah
tidak ada bedanya lagi status antara BUMN dengan swasta. Jadi sudah tidak ada
sama sekali perlindungan terhadap aset negara.
Negara tidak lagi sepenuhnya melindungi badan
usaha yang mewakilinya, pun tidak lagi melindungi aset negara yang dikandung di
dalam wilayahnya itu. Sehingga, timah yang naik dari dalam ke atas tanah di
Bangka Belitung seolah sudah tidak dimiliki lagi oleh negara. Penguasaan negara
dan pengelolaan negara terhadap timah dipertanyakan. Jika negara memang ingin
kembali melindungi asetnya, mestinya ekspor balok timah murni tidak dilakukan
oleh pengusaha swasta. Balok timah murni merupakan logam dasar, belum merupakan
produksi yang dihasilkan melalui industri. Oleh karena itu, ekspor logam dasar
itu harus dikendalikan negara melalui BUMN yaitu PT Timah. Selain logam dasar
itu, seperti solder dan tin chemical, pemerintah mungkin bisa saja memberikan
izin kepada pihak swasta untuk mengekspornya.
Selain itu, PT Timah sebagai wakil negara harus
membuka kesempatan seluas-luasnya di sektor hulu kepada masyarakat dan
pengusaha-pengusaha, khususnya di daerah Bangka Belitung untuk memperoleh
kesempatan secara terkendali dan berkeadilan. Seperti diketahui, politik
penguasaan sumber daya timah di daerah tersebut semakin meluas tanpa
mempertimbangkan luas pulau yang hanya sepertiga luas Jawa Barat itu. Padahal,
karakter industri timah mempunyai daya rusak tinggi namun pemerintah daerah
cenderung mengeluarkan izin baru. Sepanjang tahun 2000 setidaknya 50 ribu
hektar kebun lada di provinsi Bangka Belitung berubah menjadi lahan tambang.
Akibatnya, sekitar 32 ribu petani di provinsi itu kini beralih profesi menjadi penambang.
Mencermati kondisi tersebut, dapat ditarik
kesimpulan bahwa begitu borosnya lahan industri tambang timah. Kegiatan
penambangan timah dilakukan oleh masyarakat biasa dengan modal seadanya sampai
pengusaha ataupun investor besar, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Padahal, sebelum masa reformasi, penambangan timah hanya dapat dilakukan
perusahaan besar, yaitu PT Timah Tbk. Mereka memiliki kuasa penambangan (KP)
hampir dua pertiga Kepulauan Bangka Belitung.
Ada pula PT Kobatin, perusahaan gabungan
Indonesia dan Malaysia, yang memiliki KP seluas 42 ribu hektar di Bangka,
sekarang Kabupaten Bangka Tengah dan Kabupaten Bangka Selatan. Namun sejak
reformasi, penambangan tidak hanya dilakukan dua perusahaan besar itu. Kini
banyak investor lain, banyak smelter baru yang beroperasi, dan banyak izin KP
baru dari pemerintah daerah di luar KP kedua perusahaan besar tadi. Ditambah
lagi dengan aktivitas penambangan masyarakat yang tersebar di seluruh Pulau
Bangka dan Belitung.
Menurut peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Erwiza Erman, terjadi penyalahgunaan kepentingan antara
pejabat daerah dan pejabat pusat yang menyebabkan praktik monopoli tambang
timah di Bangka Belitung sangat kuat. Penyelewengan ini bisa dilihat dari
peraturan daerah yang memberikan kesempatan untuk menambang timah secara
terbuka dan Surat Izin Perdagangan Antar Daerah (SIPAD). Pebisnis menggunakan
SIPAD ini untuk memuluskan illegal economy. Salah satu bentuk illegal economy
adalah penyelundupan timah hasil produksi Bangka ke negara-negara jiran.
Dampaknya, lingkungan rusak sementara pendapatan
daerah tak meningkat. Masyarakat lokal tidak mempunyai akses turut menikmati
keuntungan dari penjualan timah, bahkan 46 persen penduduk Bangka belum
mendapatkan pelayanan listrik. Akibatnya, banyak terjadi konflik pertambangan.
Dampak Kerusakan Lingkungan Pertambangan
Timah
Pertambangan timah Bangka Belitung yang dikelola
PT Timah telah berkontribusi bagi perekonomian negara, baik menyumbang devisa
negara serta menjadi penggerak perekonomian di wilayah Bangka Belitung.
Pendapatan PT Timah pada 2007, seperti disebutkan sebelumnya, mencapai Rp. 8,
626 triliun dan pada 2008 mencapai Rp. 9, 053 triliun. Namun, pertambangan
timah Bangka Belitung juga telah mengabaikan pengelolaan lingkungan hingga
menimbulkan dampak kerusakan ekosistem.
Dampak kerusakan ekosistem akibat pertambangan
timah Bangka Belitung merupakan dampak lingkungan jangka panjang, berupa
kolam-kolam bekas tambang, hilangnya keanekaragaman hayati, dan berkurangnya
vegetasi. Pemulihan dampak kerusakan lingkungan itu bisa jadi membutuhkan biaya
lebih tinggi dibanding keuntungan produkti timah yang telah diperoleh. Dan
selama ini, PT Timah, PT Kobatin, atau pun penambang inkonvensional hanya
mengambil manfaat ekonomi dari sumberdaya timah.
Perlahan kondisi lingkungan provinsi pemasok 40
persen timah dunia ini mengalami kehancuran. Tambang timah ilegal pun telah
membuat bumi Bangka Belitung tercabik-cabik. Setidaknya 15 sungai besar di
wilayah ini telah rusak yang menyebabkan flora dan fauna berada di ambang
kepunahan. Ini disebabkan banyaknya pelanggaran aturan, dalam bentuk
penambangan di luar wilayah KP yang telah ditetapkan atau menjual hasil
penambangan kepada pihak lain selain kepada pemilik kuasa penambangan (KP).
Akibatnya, tambang timah bisa muncul di daerah
aliran sungai atau pun di pantai. Berdasarkan catatan Jaringan Advokasi
Tambang, setidaknya 100 kilogram batuan digali hanya untuk menghasilkan 0,35
kilogram bahan tambang. Sedangkan 99 persen bahan sisa tambang itu dibuang sebagai
limbah. Asosiasi Tambang Timah Rakyat (Astira) Bangka Belitung bersama
pemerintah daerah dan kepolisian bekerja sama menertibkan tambang timah ilegal.
Saat ini jumlah tambang timah tinggal 6.000-an unit karena ketatnya penertiban.
Tahun 2004-2006 tambang timah pernah mencapai 17.000 unit.
Mereka, tak memperhitungkan jasa ekologi yang
mampu diberikan ekosistem hutan dan lahan yang tereksploitasi. Keberadaan
ekosistem hutan dan ekosistem hutan mangrove misalnya, yang memiliki jasa
ekologi seperti pertukaran energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai
makanan mahkluk hidup (food chains), mempertahankan keanekaragaman hayati
(diversity patterns), daur nutrien (nutrien cycles), dan pengendali ketika
terjadi pencemaran (control/ cybernetics).
Kelestarian fungsi ekosistem hutan seharusnya
dipertahankan. Jika tidak, maka keberlanjutan kehidupan mahkluk hidup dan
bahkan manusia akan terancam. Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak panjang
pada efek rumah kaca yang mengakibatkan bumi semakin panas dan berdampak pada
kesehatan manusia. Jika manusia menyadari pentingnya menjaga kelestarian fungsi
ekosistem hutan, sesungguhnya hal ini adalah untuk keberlanjutan manusia itu
sendiri.
Beberapa pakar mengungkapkan bahwa ekosistem
hutan memiliki kemampuan suksesi sehingga tidak menjadi masalah mengeksploitasi
hutan. Hal ini sebenarnya keliru, sebab ketika hutan dieksploitasi hingga habis
maka hutan kehilangan fungsi ekologinya sebagai pengatur/ ecological regulatory
(siklus hidrologi, siklus nutrien, rantai makanan); fungsi pemelihara/
ecological maintaning (mencegah erosi, abrasi) dan fungsi pemulihan/ecological
recovery (menyerap emisi karbon). Ketika hutan dieksploitasi hingga habis maka
seketika hutan tidak memilliki fungsi ekologi dan akan mengakibatkan ketidakseimbangan
dalam sistem alam dan berpotensi menimbulkan bencana alam. Selain itu, proses
suksesi hutan dan pertumbuhan sebuah pohon membutuhkan waktu puluhan tahun.
Aktivitas tambang inkonvensional di Bangka
Belitung semakin marak berdampak pada kerusakan ekosistem. Sebab, obyek
penambangan hampir mencakup ke segala aspek ekosistem alam, yaitu wilayah darat
dan laut Bangka. Objek penambangan terutama di dalam ruang lingkup kerja
wilayah hutan konservasi yang menjadi sasaran pertambangan warga Bangka, membuat
area hutan di pulau Bangka semakin terancam keberadaannya. Ini menambah
permasalahan global pembalakan liar hutan Bangka.
Beberapa penambang inkonvensional bahkan telah
menggunduli area hutan, diantaranya hutan fungsi khusus, hutan lindung, hutan
produksi, hutan konservasi atau reklamasi eks tambang timah hingga hutan
magrove. Langkah tersebut dilakukan dengan tujuan membuka lahan pertambangan
timah. Para penambang inkonvensional membuka lahan pertambangan dengan cara
membabat, membakar, kemudian menggunduli area hutan, guna kepentingan
eksploitasi.
Hilangnya ekosistem hutan yang berganti menjadi
area pertambangan telah menghilangkan fungsi ekosistem hutan sebagai pertukaran
energi (energy circuits), siklus hidrologi, rantai makanan mahkluk hidup (food
chains), mempertahankan keanekaragaman hayati (diversity patterns), daur
nutrien (nutrien cycles) dan pengendali ketika terjadi pencemaran (control/
cybernetics). Kerusakan ekosistem hutan telah berdampak pada ketidakseimbangan
sistem alam.
Akibatnya, Bangka Belitung mengalami kekeringan
ketika musim kemarau, hasil pertanian mereka pun menurun. Apalagi banyak petani
yang beralih profesi menjadi penambang sehingga lahan pertanian pun
terbengkalai. Hilangnya ekosistem hutan mengakibatkan beberapa kawasan tererosi
dan sungai-sungai pun mengalami abrasi. Karena terjadi sedimentasi yang tinggi,
terkadang sungai meluap ketika musim hujan. Terlebih lagi, tailing yang dibuang
ke sungai mengakibatkan kerusakan ekosistem sungai dan kematian beberapa biota
perairan.
Masyarakat pun tidak dapat memanfaatkan
sumberdaya sungai seperti sebelumnya, misalnya untuk memancing, rekreasi, atau
pun sebagai sumber air permukaan. Pada musim hujan, kolong-kolong bekas galian
tambang akan terisi air namun menjadi kering dan gersang pada musim kemarau.
Hal ini karena tidak ada lagi hutan yang berfungsi sebagai daerah resapan air
(catchment area). Hilangnya ekosistem hutan juga membawa dampak pada degradasi
lahan, termasuk lahan pertanian.
Dampaknya, hasil pertanian, hasil kebun petani pun
menurun. Jika hasil pertanian yang dihasilkan tidak mampu memenuhi kebutuhan
masyarakat Bangka Belitung, mereka terpaksa harus membelinya di luar. Hal ini
tentu menambah biaya, dan mereka mendapatkan harga hasil pertanian yang relatif
lebih mahal. Lahan pertanian dan tanah-tanah lapang di Bangka Belitung saat ini
juga menjadi sangat tandus dan gersang. Membutuhkan biaya besar untuk
mereklamasi atau pun merevegetasi untuk menjadikan lahan tersebut kembali
berproduksi. Kekeringan, banjir, serta penurunan hasil pertanian adalah bagian
dari dampak karena penambang tidak melestarikan fungsi hutan lindung.
Akhiri Kerakusan
Kita sebagai bangsa hendaknya merasa prihatin,
malu dan sekaligus terhina harga dirinya menyaksikan negara-negara tetangga
menadah barang seludupan, mengendalikan harga timah dan melecehkan hukum
negara, serta menikmati keuntungan sangat besar dari pencurian kekayaan alam
kita. Di sisi lain, kita mengerti bahwa semua ironi ini sebagian besar
berpangkal dari kesalahan kita sendiri, terutama para oknum investor,
cukong-cukong dan oknum penguasa serta oknum aparat pertahanan dan keamanan.
Umumnya mereka bermental KKN, manipulatif, konspiratif, dan rakus akan kekayaan
dan kekuasaan.
Keserakahan para eksekutif keuangan dan bank
serta pemilik modal merupakan penyebab utama terjadinya krisis keuangan global
saat ini. Akibat kerakusan mereka, ratusan juta orang menjadi miskin atau
bertambah miskin, puluhan juta orang kehilangan pekerjaan, ribuan perusahaan
bangkrut, dunia kehilangan dana sekitar US$ 10 triliun, atau uang yang lenyap
di bursa saham mencapai US$ 50 triliun! Daya rusak orang-orang serakah begitu
besar sehingga merusak tatanan ekonomi dunia, merugikan keuangan negara dan
menyengsarakan demikian banyak orang.
Demikian pula yang terjadi di Babel. Prilaku
serakah oknum-oknum investor dan pejabat telah merugikan negara puluhan trilun
rupiah, menyengsarakan rakyat, merusak lingkungan, dan bahkan menjadikan negara
terhina, tidak berdaulat, tidak punya harga diri di hadapan negara-negara lain.
Apakah pemerintah memang sudah tidak berdaya dan akan terus membiarkan semua
ini terus berlangsung? Apakah memang kita masih pantas berharap kepada
pemerintah? Belajar dari krisis keuangan global yang masih berlangsung saat
ini, kita menginginkan pembenahan industri timah secara seksama segera
diwujudkan, terutama melalui operasionalisasi UU Minerba No.4/2009 – dalam
bentuk sejumlah PP – yang sejalan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945.
boleh dong share ilmunya tentang proses pemisahan timbal????
BalasHapustx's
Negara penghasil timah terbesar
BalasHapusUntuk sekedar melengkapi artikel diatas, berikut telah kami susun Daftar Negara Penghasil Timah Terbesar di Dunia
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus